Kamis, 30 Januari 2014

APLIKASI PEMIKIRAN MARXIS KLASIK DALAM REALITAS KOMUNIKASI DI INDONESIA

Dinamika politik pada tahun 1998 telah memunculkan era yang disebut sebagai era reformasi. Era ini berdampak pada terbukanya kran-kran informasi dan ruang bagi penyaluran kebebasan berekspresi serta berpendapat. Onong (2003: 28) menyebutkan hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antarmanusia berupa pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.
Perkembangan media massa, media cetak bahkan social media online tidak terbendung dan terhitung jumlahnya. Sebagai contoh perkembangan media massa seperti televisi merupakan salah satu media komunikasi yang merasakan dampak dinamika politik 1998 tersebut. Televisi-televisi swasta pun bermunculan dan ragam variasi program ditampilkan. Ia dipenuhi dengan beragam program hiburan, seperti musik, sinetron, kuis atau berbagai macam reality show. Program-program non-hiburan seperti berita, awalnya hanya dijadikan sebagai pelengkap dengan tampilan yang tidak semenarik program hiburan lainnya. Namun, sejak kemunculan MetroTV yang memposisikan dirinya sebagai stasiun berita, sebagaimana layaknya CNN, maka terdapat kecenderungan berita tidak lagi dianggap sebagai program sampingan. Terlebih dengan hadirnya TvOne, dengan tag linenya sebagai stasiun berita dan olahraga. Terdapat persaingan diantara keduanya yang kemudian diikuti oleh stasiun televisi lain, seperti TransTv, Trans7, RCTI, SCTV dan stasiun lainnya. Persaingan tersebut kemudian memunculkan ragam varian dalam penyajian berita yang kemudian dikemas dengan lebih menarik. Iklan pun kemudian hadir dan mewarnai layar kaca sebagai nyawa yang menghidupi dan menjamin keberlangsungan media televisi tersebut. Media cetak juga seperti koran dan majalah, serta social media online juga mengalami peningkatan pertumbuhan yang luar biasa.
Perkembangan media komunikasi seperti radio, TV dan surat kabar ini tentu saja merupakan hal positif selama tetap menghadirkan program yang berkualitas dan mampu memberikan pencerahan bagi masyarakat. Namun, mengingat tingginya kecenderungan kapitalisasi dan hegemoni korporasi pada sebagian media ini, menimbulkan pertanyaan apakah kanal-kanal berita tersebut mampu mempertahankan komitmennya untuk memberikan informasi dan program-program yang mendidik, serta mampu melepaskan diri dari konflik kepentingan antara kebutuhan untuk memperoleh profit dan fungsi edukasinya. Mengingat pada perkembangan selanjutnya media-media ini beralih kepemilikan pada beberapa orang yang memiliki orientasi politik tersendiri.


 

  II.     Pemikiran Marx Klasik dan Kaitannya dengan Media Massa
Marx menganggap suatu masyarakat didominasi oleh objek-objek yang nilai utamanya adalah pertukaran yang memproduksi kategori-kategori masyarakat tertentu.  Kategorisasi ini akhirnya melahirkan dua tipe utama yang menjadi perhatian Marx adalah proletariat dan boujis/kapitalis. Proletariat adalah para pekerja yang menjual kerja mereka dan tidak memiliki alat-alat produksi sendiri, mereka bergantung sepenuhnya pada orang yang memberi upah. Orang yang memberi upah adalah borjuis/kapitalis, yaitu orang-orang yang memiliki alat produksi untuk menghasilkan lebih banyak uang (William, 2008: 496). Dengan kata lain, kapitalis lebih merupakan usaha pengembangan investasi ketimbang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan keingginan manusia.
Marx memandang masyarakat sebagai arena individu dan kelompok bertarung untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya (Wirawan, 2013: 68). Sehingga ekploitasi dan dominasi merupakan suatu bagian penting yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi kapitalis. Hans Fink (2003: 137-138) menyebutkan bahwa menurut Marx, sejarah lebih merupakan perkembangan produksi daripada realisasi prinsip-prinsip rasional. Produksi adalah kerja sosial, sebagai sesuatu yang diperlukan dalam sejarah. Kerja sosial bagi Marx adalah kunci perubahan sosial. Ia mengubah lingkungan alami dan harus beradaptasi dengan kondisi-kondisi baru yang dihasilkan oleh kerja mereka. Marx juga berpendapat terdapat kecenderungan alami untuk mengupayakan perluasan kekuatan-kekuatan produksi itu, dan kecenderungan ini menghasilkan dinamika dasar semua perkembangan sosial.
Morissan (2013: 536) menyatakan, Marx berpandangan bahwa pesan yang disampaikan media massa sejak awal dibuat dan disampaikan kepada khalayak dengan satu tujuan, yaitu membela kepentingan paham kapitalisme. Walaupun media sering kali mengklaim atau menyatakan bahwa mereka menyampaikan informasi untuk kepentingan publik dan kebaikan bersama (common good), namun meminjam ungkapan popular “ujung-ujungnya duit!”

 
   III.     Aplikasi Pemikiran Marxis Klasik Dalam Realitas Komunikasi Di Indonesia
Para sarjana komunikasi telah lama menyadari bahwa media massa memiliki kemampuan untuk mengembangkan berbagai isu bagi publik. Karenanya menurut Lippmann, media bertanggung jawab membentuk persepsi terhadap dunia. Gambaran realitas yang diciptakan media hanyalah pantulan (reflection) dari realitas sebenarnya dan karenanya terkadang mengalami pembelokan atau distorsi (Morissan, 2013: 495).
Adanya kecenderungan saat ini kepemilikan media massa lebih banyak dimiliki oleh orang-orang yang berorintasi pada kepentingan politik dan bisnis (ekonomi) semata. Sehingga muncul kekhawatiran media massa cenderung lebih digunakan untuk kepentingan bisnis dan politis pemilik serta kelompoknya yang seringkali berafiliasi dengan partai atau elit politik tertentu. Keadaan tersebut dikhawatirkan membuat media melupakan fungsinya utamanya untuk dapat memenuhi kepentingan informasi dan edukasi bagi masyarakat. Donal Shaw dan Maxwell McComb (dalam Morissan 2013, 496) menyatakan, para editor media cetak dan para pengelola media penyiaran memainkan peran penting dalam membentuk realitas sosial kita ketika mereka melakukan pekerjaan untuk memilih dan membuat berita.
Menurut Siti Aminah (Jurnal: Politik Media, Demokrasi dan Media Politik, hal 4-5), terdapat 3 (tiga) pelaku dalam politik media, ialah politisi, jurnalis, dan orang -orang yang digerakkan oleh dorongan (kepentingan) khusus. Bagi politisi, tujuan dari politik media adalah dapat menggunakan komunitas massa untuk memobilisasi dukungan publik yang mereka perlukan untuk memenangkan pemilihan umum dan memainkan program mereka ketika duduk di ruangan kerja. Bagi jurnalis, tujuan politik media adalah untuk membuat tulisan yang menarik perhatian banyak orang dan menekankan apa yang disebutnya dengan “suara yang independen dan signifikan dari para jurnalis”. Bagi masyarakat, tujuannya adalah untuk keperluan mengawasi politik dan menjaga politisi agar tetap akuntabel, dengan menggunakan basis usaha yang minimal. Tujuan tersebut merupakan sumber ketegangan konstan yang ada di ketiga aktor tadi. Politisi menghendaki para jurnalis untuk bertindak sebagai pembawa berita yang netral dalam statemen mereka dan dalam rilis pers. Sementara para jurnalis tidak ingin menjadi tangan kanan pihak lain; mereka lebih berharap untuk bisa membuat kontribusi jurnalistik khusus untuk berita, dimana mereka dapat menyempurnakannya dengan menggunakan berita terkini, investigasi, dan analisis berita yang sangat dibenci oleh kalangan politisi.
Menurut Hall, media adalah instrumen kekuasaan kelompok elite, dan media berfungsi menyampaikan pemikiran kelompok yang mendominasi masyarakat, terlepas apakah pemikiran itu efektif atau tidak. Studi cultural menekankan pada gagasan bahwa media menjaga kelompok berkuasa untuk tetap memegang kontrol atas masyarakat sementara mereka yang kurang berkuasa menerima apa saja yang disisakan kepada mereka oleh kelompok berkuasa (Morissan, 2013: 535). Saat ini ada beberapa media nasional yang dimiliki oleh korporasi yang terjun ke dunia politik maupun berafiliasi pada partai politik tertentu:

No
MEDIA MASSA
PEMILIK
Afiliasi Partai Pemiliknya
Televisi Nasional/ Prabayar
Internet
Surat Kabar dan lainya
1
Metro TV


Media Group (Surya Paloh)
NasDem
2
RCTI


MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
HANURA
3
MNC TV


MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
HANURA
4
Global TV


MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
HANURA
5
Sindo TV


MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
HANURA
6
Top TV


MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
HANURA
7
TV One


Group Bakrie (Aburizal Bakrie)
Golkar
8
AVTV


Group Bakrie (Aburizal Bakrie)
Golkar
9
Jak-TV


Group Bakrie (Erick Thohir)
Golkar
10
TRANS TV


CT Corp (Chairul Tanjung
Demokrat
11
TRANS 7


CT Corp (Chairul Tanjung)
Demokrat
12
SCTV


PT. Elang Mahkota (Keluarga Sariatmadja)

13
INDOSIAR


PT. Elang Mahkota (grup Salim)

14
TVRI


Negara/Pemerintah

15


Media Indonesia
Media Group (Surya Paloh)
NasDem
16


Seputar Indonesia
MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
HANURA
17


Trust
MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
HANURA
18


MNC Radio
MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
HANURA
19


Jawa Pos
Multimedia Corp (JPMC)/ PT.Grafiti Pers (Dahlan Iskan)
Demokrat (?)
20


Rakyat Merdeka
PT.Grafiti Pers (Dahlan Iskan)
Demokrat (?)
21


Republika
Group Bakrie (Erick Thohir)
Golkar
22


Radio Parambos
Group Bakrie (Erick Thohir)
Golkar
23


Suara Karya
Group Bakrie
Golkar
24

Vivanews.com

Group Bakrie (Aburizal Bakrie)
Golkar
25

Detik.com

CT Corp (Chairul Tanjung
Demokrat
26


KOMPAS
PT Kompas Media Nusantara (Kel Kompas Gramedia

27


TEMPO
PT Tempo Inti Media Harian (Gunawan Muhammad)
Demokrat (?)
28

MetroTv News

Media Group (Surya Paloh)
NasDem
29

Okezone.com

MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
HANURA
Sumber: http://hikmawansp.wordpress.com/2012/12/28/media-massa-milik-partai-politik/

Kepentingan politik dan korporasi ini menyebabkan banyaknya program atau tayangan yang terkesan dipaksakan atau dibuat-buat (misalnya: roadshow/iklan perjalanan politik partai Nasdem, roadshow/iklan kegiatan Politik Hary Tanoe dan Wiranto dengan partai Hanura, tayangan seputar Gubernur Joko Widodo yang sampai diputar di tayangan infotainment, roadshow/iklan politik Abu Rizal Bakrie dan Partai Golkar, kata-kata hikmah Dahlan Iskan di Koran berbasis Multimedia Corps, dll). Program dan tayangan yang demikian cenderung berpotensi merugikan publik karena lama-kelamaan masyarakat akan menjadi jenuh, antipati dan tidak perduli. Jika hal tersebut terjadi maka fungsi media sebagai jembatan informasi dan eduksi untuk masyarakat serta salah satu pilar demokrasi, yaitu pilar keempat demokrasi (the fourth estate) tidak akan terwujud. Karena media tidak lagi menjalankan fungsi mengontrol dan mengkritisi jalannya pemerintahan (kekuasaan) secara maksimal, namun menjadi alat propaganda politik segelitir orang dan korporasi guna mencapai tujuannya.
Dalam studi tentang penyiaran sebagai komunikasi massa mesti melihat berbagai teori efek komunikasi massa. Diantara teori yang menjelaskan hal tersebut adalah teori stimulus-respons, teori two step flow dan teori difusi inovasi (Sendjaja, 1998: 188 dalam Mufid, 2007: 22). Dalam difusi inovasi terdapat paradigma liberal yang merupakan antithesis paradigma otoriter, paradigma ini menjelaskan bahwa penyiaran tidak lagi menjadi alat pemerintah, dan bisa dimiliki secara pribadi. Namun, hukum industrial membuat kepemilikan media hanya menjadi otoritas para pemodal besar. Kepemilikan pemodal pertama-tama adalah akumulasi keuntungan dan privilege sosial-politik dan kalau perlu – baru kemudian kritik sosial. Dalam sistem liberal, kontrol terhadap media penyiaran ada di tangan para pemilik modal. Dunia penyiaran Indonesia dan penyiaran dunia sekarang ini secara keseluruhan terpengaruh oleh iklim media penyiaran (Mufid, 2007: 24).
Dalam percaturan politik ekonomi skala internasional maupun nasional tidak dapat dipungkiri bahwa media massa mainstream dikuasai oleh para pemilik modal dan digunakan untuk kepentingan para pemilik modal.
Mereka yang menguasai media massa tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa mereka juga memiliki kekuatan ekonomi dan atau bahkan kekuatan politik yang besar, seperti perusahaan retail (Chairul Tanjung), asuransi (HT), partai politik (HT, ARB dan Suryo Paloh), dsb. Demikian juga mereka yang bekerja di media massa mendapatkan upah dari para pemilik media massa. Dengan begitu maka kepentingan ekonomi politik mereka sebagai pemilik modal disebarkan melalui media massa yang mereka miliki agar tetap bertahan dan terus menjadi hegemoni ideologi yang dominan.
Tidaklah mengherankan bila sering terjadi berbagai pelanggaran terhadap peraturan perundangan, UU Penyiaran, Kode Etik Jurnalistik, serta aturan KPI utamanya yang menyangkut pemberitaan politik. Belum lagi berupa pemberitaan yang tidak berimbang dalam memberitakan baik memperkaya ataupun menutupi suatu objek berita.



DAFTAR REFERENSI

Aminah, Siti. POLITIK MEDIA, DEMOKRASI DAN MEDIA POLITIK. Journal Fisip Unair: Surabaya.
Effendi, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Fink, Hans. 2003. Filsafat Sosial Dari Feodalisme hingga Pasar Bebas. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Kusumawardhana, Ignatius Mahendra. 2013. MEDIA MASSA DALAM KAPITALISME. http://www.theglobal-review.com/content_detail.php? lang=id&id=12251&type=120#.UmdK0XBHITy
Mufid, Muhammad. 2007. KOMUNIKASI DAN REGULASI PENYIARAN. KENCANA PRENADA GROUP: Jakarta.
Outhwaite, William. Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern Edisi Kedua. Kencana: Jakarta.
Wirawan, IB. 2013. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Kencana: Jakarta.






1 komentar: