Minggu, 18 Mei 2014

REVIEW TERHADAP TEORI TAHAPAN PERTUMBUHAN EKONOMI – THE STAGES OF ECONOMIC GROWTH : A Non-Communist Manifesto WALT WHITMAN ROSTOW

Teori Tahapan Pertumbuhan Ekonomi yang dikemukakan oleh Walt Whitman Rostow dari linear stage of growth theory didasarkan pada  pengalaman dan pengamatan pembangunan yang telah dialami sebelumnya oleh negara-negara maju terutama di Eropa sejak abad pertengahan hingga abad modern, kemudian diformulasikan menjadi tahap-tahap evolusi dari suatu pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara tersebut.

  I.       Tahap-Tahap Linear Pertumbuhan Ekonomi Rostow
Tahap-tahap pertumbuhan ekonomi yang linear (mono-economic approach) inilah yang menjadi syarat pembangunan untuk mencapai ‘status lebih maju’. Rostow membagi proses pembangunan ke dalam lima tahapan yaitu:
1.      Tahap Masyarakat Tradisional (the traditional society)
Masyarakat tradisional diartikan sebagai suatu struktur masyarakat yang strukturnya berkembang di sepanjang fungsi produksi berdasarkan ilmu dan teknologi pra-Newton dan sebagai hasil pandangan pra-Newton terhadap dunia fisika (Rostow, The Stages Of Economic Growth, 1960 dalam Jhingan. 2012: 142). Adapun karakteristiknya adalah sebagai berikut:
ñ          Pertanian padat tenaga kerja;
ñ          Belum mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi (era Newton);
ñ          Ekonomi mata pencaharian;
ñ          Hasil-hasil tidak disimpan atau diperdagangkan; dan
ñ          Adanya sistem barter.
Ini tidak berarti bahwa dalam masyarakat seperti itu sama sekali tidak terjadi perubahan ekonomi. Sebenarnya, banyak tanah dapat digarap, skala dan pola perdagangan dapat diperluas, manufaktur dapat dibangun dan produktivitas pertanian dapat ditingkatkan sejalan dengan peningkatan penduduk dan pendapatan. Hanya saja tidak ada daya cipta dan pembaruan, tetapi karena tidak ada sarana dan pandangan pasca Newton terhadap dunia fisika.
Struktur sosial masyarakat seperti itu bersifat berjenjang; hubungan darah dan keluarga memainkan peranan yang menentukan. Kekuasaan politik terpusat di daerah, di tangan bangsawan pemilik tanah yang didukung oleh sekelompok serdadu dan pegawai negeri. Lebih dari 75% penduduk yang bekerja bergerak dibidang pertanian. Pertanian biasanya menjadi sumber utama pendapatan negara dan para bangsawan, yang kemudian dihamburkan untuk pembangunan candi atau monument, pesta penguburan, perkawinan, atau untuk perang (Jhingan. 2012: 142).
2.      Tahap Pembentukan Prasyarat Tinggal Landas (the preconditions for takeoff)
Tahap kedua dari proses pertumbuhan Rostow ini pada dasarnya merupakan proses transisi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Sektor industri mulai berkembang di samping sektor pertanian yang masih memegang peranan penting dalam perekonomian. Tahap kedua ini merupakan tahap menentukan bagi persiapan menuju tahap-tahap pembangunan berikutnya yang menentukan, yaitu tahap tinggal landas. (Mudrajad. 2006: 52). Tahap ini yang ditandai dengan:
ñ          Pendirian industri-industri pertambangan;
ñ          Peningkatan penggunaan modal dalam pertanian;
ñ          Perlunya pendanaan asing;
ñ          Tabungan dan investasi meningkat;
ñ          Terdapat lembaga dan organisasi tingkat nasional;
ñ          Adanya elit-elit baru;
ñ          Perubahan seringkali dipicu oleh gangguan dari luar.
Hanya saja prasyarat tersebut muncul tidak dari dalam, tetapi merupakan desakan dari luar. Di Eropa misalnya (kecuali Inggris), tahap penciptaan penciptaan prasyarat ini berakhir dengan berkuasanya Napoleon Bonaparte yang tentaranya berhasil menanamkan sikap dan gagasan-gagasan baru (semangat Renaissance) yang melahirkan perubahan struktur masyarakat tradisional dan meratakan jalan bagi penyatuan Jerman dan Italia (Jhingan. 2012: 142). 
Pada tahap ini perekonomian mulai bergerak dinamis, industri-industri bermunculan, perkembangan teknologi yang pesat, dan lembaga keuangan resmi sebagai penggerak dana mulai bermunculan, serta terjadi investasi besar-besaran terutama pada industri manufaktur. Tahap ini merupakan tonggak dimulainya industrialisasi. Industrialisasi dapat dipertahankan jika dipenuhi prasyarat sebagai berikut: pertama, peningkatan investasi di sektor infrastruktur/prasarana terutama transportasi; kedua, terjadi revolusi teknologi di bidang pertanian untuk memenuhi peningkatan permintaan penduduk yang semakin besar; ketiga, perluasan impor, termasuk impor modal yang dibiayai produksi yang efisien dan pemasaran sumber alam untuk ekspor. Proses pembangunan dan industrialisasi yang berkelanjutan akan terjadi dengan menanamkan kembali keuntungan yang diperoleh dalam sektor yang menguntungan (Mudrajad. 2006: 53).
3.      Tahap Tinggal Landas (the take-off)
Tahap tinggal landas merupakan tahap yang menentukan dalam keseluruhan proses pembangunan bagi kehidupan  masyarakat. Pengalaman negara-negara Eropa menunjukkan bahwa tahap ini berlaku dalam waktu yang relatif pendek yaitu kira-kira dua dasawarsa (Mudrajad. 2006: 53). Tahap ini ditandai dengan:
ñ          Industrialisasi meningkat;
ñ          Tabungan dan investasi semakin meningkat;
ñ          Peningkatan pertumbuhan regional;
ñ          Tenaga kerja di sektor pertanian menurun;
ñ          Stimulus ekonomi berupa revolusi politik,
ñ          Inovasi teknologi,
ñ          Perubahan ekonomi internasional,
ñ          Laju investasi dan tabungan meningkat  5 – 10 persen dari Pendapatan nasional,
ñ          Sektor usaha pengolahan (manufaktur),
ñ          Pengaturan kelembagaan (misalnya sistem perbankan).
Hofsteede (1991: 132) menyebutkan konsep lepas landas Indonesia berbeda dengan konsep Rostow. Syarat-syarat kemampuan lepas landas meliputi:
·         Keseimbangan antar sektor
·         Keseimbangan regional
·         Struktur dan fungsi kelembagaan ekonomi
·         Peranan sektor domestik dan luar negeri
·         Kesinambungan pembangunan
4.      Tahap Pergerakan Menuju Kematangan/Kedewasaan Ekonomi (the drive to maturity)
Tahap ini ditandai dengan penerapan secara efektif teknologi modern terhadap sumber daya yang dimiliki. Tahapan ini juga ditandai dengan munculnya beberapa sektor penting baru. Pada saat negara berada pada tahap kedewasaan teknologi (Mudrajad. 2006: 54). Adapun ciri-ciri pada tahapan ini antara lain:
ñ          Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan;
ñ          Diversifikasi industri;
ñ          Penggunaan teknologi secara meluas;
ñ          Pembangunan di sektor-sektor baru;
ñ          Investasi dan tabungan meningkat 10 – 20 persen dari pendapatan nasional.
Rostow memaparkan tahun-tahun simbolik kematangan teknologi pada negara-negara berikut ini:
-          Inggris                        1850                - Swedia          1930
-          Amerika Serikat         1900                - Jepang           1940
-          Jerman                        1910                - Rusia             1950
-          Perancis                      1910                - Kanada         1950
Pada waktu suatu negara berada pada tahap kedewasaan teknologi, ada tida perubahan penting terjadi:
Pertama, sifat tenaga kerja berubah menjadi terdidik. Orang lebih suka tingga di kota daripada di desa. Upah mulai meningkat dan para pekerja mengorganisasi diri untuk mendapatkan jaminan sosial dan ekonomi yang lebih besar.
Kedua, watak para pengusaha berubah. Pekerja keras dan kasar berubah menjadi manajer halus dan sopan.
Ketiga, masyarakat merasa bosan pada keajaiban industrialisasi dan menginginkan sesuatu yang baru menuju perubahan lebih jauh (Jhingan. 2012: 149).
5.      Tahap Era Konsumsi-Massal Tingkat Tinggi (the age of high mass-consumption)
Tahap ini ditandai dengan:
ñ          Proporsi ketenagakerjaan yang tinggi di bidang jasa;
ñ          Meluasnya konsumsi atas barang-barang yang tahan lama dan jasa;
ñ          Peningkatan atas belanja jasa-jasa kemakmuran
Tahap konsumsi massa tinggi merupakan akhir dari tahapan pembangunan yang dikemukan oleh Rostow. Pada tahap ini akan ditandai dengan terjadinya migrasi besar-besaran dari masyarakat pusat perkotaan ke pinggiran kota, akibat pembangunan pusat kota sebagai sentra bagi tempat bekerja. Pada fase ini terjadi perubahan orientasi dari pendekatan penawaran (supply side) menuju pendekatan permintaan  (demand side) dalam sistem produksi yang dianut. Sementara itu terjadi pula pergeseran perilaku ekonomi yang semula lebih banyak menitikberatkan pada sisi produksi kini beralih ke sisi konsumsi. Orang mulailah berfikir bahwa kesejahteraan bukanlah permasalahan individu, yang hanya dipecahkan dengan mengkonsumsi barang sebanyak mungkin. Namun lebih dari itu mereka memandang kesejahteraan dalam cakupan yang lebih luas, yaitu kesejahteraan masyarakat bersama dalam arti luas (Mudrajad. 2006: 55).
Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara yang pertama kali mencapai era konsumsi massa ini, yaitu sekitar tahun 1920. Hal yang sama kemudian diikuti oleh beberapa negara eropa Barat. Satu-satunya negara di Asia yang telah mencapai tahap tersebut adalah Jepang (Mudrajad. 2006: 55).

II.       Kritik Terhadap Teori Rostow
 Pertumbuhan ekonomi menurut Rostow mencakup perubahan dalam orientasi kemasyarakatan, antara lain: orientasi ekonomi, politik, sosial yang awalnya mengarah ke dalam  menjadi berorientasi ke luar; pandangan masyarakat mengenai pengurangan jumlah anggota keluarga; kecenderungan penanaman modal pada sektor yang bertahan lama dan menguntungkan; dan pandangan bahwa manusia harus memanipulasi keadaan dan alam untuk mencapai kemajuan. Teori Rostow ini dipandang bersifat sangat umum dan tidak secara terperinci mengadakan perubahan corak sektor dalam proses pembangunan. Analisanya lebih menitikberatkan pada peranan faktor tertentu dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi (Masykur, 1992).
Pentahapan pembangunan yang digambarkan oleh Rostow menyimpulkan bahwa suatu tahapan tidak dapat terjadi tanpa melalui tahapan yang lain. Hal ini terjadi karena teori ini merupakan pola penggambaran sejarah pembangunan yang dilakukan  negara-negara Eropa yang memiliki struktur sosial dan budaya yang apan. Interaksi Barat akibat kolonialisme di negara-negara Asia dan Afrika menyebabkan tahapan teori Rostow terjadi secara simultan. Kenyataannya, ada negara-negara yang tidak pernah melewati fase pertama dari pertumbuhan Rostow, seperti Amerika Serikat dan Australia karena benua ini ‘temuan’ orang-orang Eropa, dimana penduduknya saat ini adalah orang-orang Eropa yang kemudian mentransfer ilmu dan pengetahuannya ke Benua tersebut (Mudrajad. 2006: 55-56). Sanderson (2003: 138) menyebutkan masyarakat tradisional tidak hanya meliputi Romawi Kuno, Eropa pada abad pertengahan, dan China Klasik, namun juga ada pada Kenya, Chilli, dan India sekarang. Masyarakat ini secara keseluruhan berbeda dalam pola sosial, teknologi, ekonomi, dan politik. Dapatkah konsep diterapkan sedemikian global dan/dengan mengabaikan perbedaan penting di antara berbagai masyarakat itu?
Pandangan Rostow ini umumnya bersifat agresif dan optimis mengubah masyarakat mengikuti tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga cenderung mengabaikan keanekaragaman gerak perubahan masyarakat. Kenyataannya, setiap masyarakat bergerak menurut pola dan strategi mereka masing-masing, tidak harus selalu menuju modern seperti yang terjadi di masyarakat industri maju di Barat, khususnya Amerika Serikat (Arif Budiman dalam Ishomuddin. 2001: 56).
Kritik terhadap teori Rostow dikemukakan oleh Simon Kuznet (1989) dalam Mudrajad Kuncoro (2006). Kuznet mencatat ada beberapa kemiripan dan perbedaan antara teori Rostow dengan Karl Marx. Kemiripan antara kedua teori tersebut menurut Kuznet antara lain, Pertama kedua teori tersebut dengan berani menginterpretasikan evolusi sosial khususnya disektor ekonomi. Kedua, baik Marx dan Rostow telah coba mengeksplorasi permasalahan dan konsekuensi dari pembangunan sosial yang dilakukan. Ketiga, kedua ekonom tersebut menyadari bahwa perubahan sistem ekonomi pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari perubahan yang terjadi di bidang politik, kebudayaan dan sosial. Sementara di sisi lain perubahan sistem ekonomi akan berpengaruh terhadap kehidupan politik, kondisi budaya dan sosial masyarakat.
Selanjutnya menurut Kuznet kedua teori tersebut tidak lepas dari perbedaan. Pertama, Marx memandang bahwa manusia bersifat sangat kompleks yang memiliki berbagai dimensi kebutuhan ekonomi sampai budaya. Di sisi lain Rostow menyadari bahwa perubahan ekonomi dipandang sebagai konsekuensi dari perubahan motif dan inspirasi dimensi ekonomi dan non ekonomi. Kedua, Marx mendasarkan teorinya pada sistem konflik antarkelas masyarakat pada sistem kapitalis. Sementara itu, Rostow lebih sederhana dalam memandang interaksi antarkelas dalam sistem kapitalis. Ketiga, Marx mengasumsikan bahwa perubahan ekonomi merupakan fenomena yang hanya dipengaruhi oleh perubahan motif dan inspirasi ekonomis kelas masyarakat penguasa sumber daya saja. Rostow memandang bahwa perubahan ekonomi pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari perubahan motif dan inspirasi nonekonomis yang terjadi pada seluruh lapisan masyarakat (Mudrajad,, 2006: 56 - 57).
Menurut Kuznets, teori tahap pertumbuhan Rostow tidak mencakup ciri-ciri suatu teori pertumbuhan yang seharusnnya. Menurut Kuznets, suatu teori pertumbuhan haruslah mencakup keempat sifat. Pertama, setiap tahap haruslah merupakantahap yang mempunyai ciri-ciri yang empiris dan dapat ditelusuri kebenarannya. Kedua, ciri-ciri tersebut harus cukup nyata perbedaannya dengan ciri lain. Ketiga, penjelasan atas huungan analitis yang menghubungkan dengan tahapan sebelumnya mencakup proses yang mengakhiri dan selanjutnya berakibat pada munculnya tahap berikut. Keempat, hubungan analitis dengan tahap selanjutnya juga harus dijelaskan.
Kuznets menyatakan bahwa perbedaan tahapan pada teori Rostow sangat kabur sehingga sulit dibedakan karena beberapa ciri pada tahapan prakondisi lepas landas juga ada pada tahapan lepas landas. Contohnya, pada tahapan prakondisi lepas landas terdapat ciri “perkembangan dan kenaikna produktivitas sektor pertanian” namun hal tersebut dianggap hanya mungkin terjadi apabila tingkat penanaman modal berkembang dengan pesat. Dengan kata lain, ciri “penanaman modal bergerak cepat” telah berlangsung sejak tahapan prakondisi lepas landas. Terjadi kesukaran untuk menentukan batasan yang jelas antara satu tahapan dengan tahapan lainnya, dengan begitu, menurut Kuznets, manfaat untuk membahas hubungan analitis antara tahapan-tahapan tersebut menjadi sangat kecil (Sadono, 1982).

 III.       Kesimpulan
Meski dianggap sebagai peletak dasar teori pertumbuhan ekonomi yang banyak mendapat perhatian, W.W. Rostow memberikan elaborasi yang kurang jelas terhadap analisis proses dan batasan antar tahapan-tahapan pertumbuhannya. Rostow pun gagal menjelaskan ruang lingkup teorinya. Teori Rostow tidak menjelaskan peran dan pengaruh aspek sejarah dan kultural pada pertumbuhan ekonomi di Negara Dunia Ketiga, dibandingkan dengan proses berdirinya Negara Dunia Pertama dan Kedua pada saat belum adanya perang ideologi dan penjajahan yang berimbas pada konsentrasi awal kemerdekaan Dunia Ketiga, maka teori tersebut tidak relevan. Negara Dunia Pertama dan Kedua relatif memiliki kesamaan dan kesetaraan bidang ekonomi sehingga bukan hal sulit mengaplikasikan teori Rostow, namun untuk Negara Dunia Ketiga yang terlahir dengan nilai historis dan kultural yang tinggi dari penjajahan dan ketakutan akan invasi ideologi dari negara lain, berimbas pada konsentrasi awal negara bukanlah perekonomian namun lebih kepada keamanan politik.
Meski banyak kritik yang menyudutkan teori Rostow, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Rostow telah memberi kontribusi besar mengenai proses pertumbuhan dan pembangunan masyarakat.
DAFTAR REFERENSI

Hofsteede, W. M. F. 1991. Pembangunan Masyaraka  -  Society in Transition. UGM Press: Yogyakarta.
Ishomuddin. 2001. Diskursus Politik dan Pembangunan. UMM Press: Malang
Jhingan, M.L. 2012. Ekonomi Pembangunan Dan Perencanaan. RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah, Dan Kebijakan. UPP STIM YKPN: Yogyakarta.
Pambudi, Andi Tri. 2012. Pergeseran Struktur Perekonomian Atas Dasar Penyerapan Tenaga Kerja Di Provinsi Jawa Tengah. FE Undip: Semarang. http://eprints.undip.ac.id/26853/1/Skripsi_C2B_605_114(r).pdf (diakses 23 Oktober 2013).
Rostow, W.W. 1959. The Stage Of Economic Growth, The Economic History Review. Economic History Society. http://vi.uh.edu/pages/buzzmat/WWR.pdf (diakses 23 Oktober 2013).
Sanderson, Stephen K. 2003. Makro Sosiologi. RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Sukirno, Sadono. 1982. Ekonomi Pembangunan-Proses, Masalah, dan Dasar Kebijaksanaan.Kuala Lumpur. Bima Grafika: Yogyakarta.
Todaro, Michael P. 1993. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Wiratmo, Masykur. 1992. Ekonomi Pembangunan- Ikhtisar Teori, Masalah, dan Kebijakan. MW Mandala: Yogyakarta.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar