KEPENTINGAN KORPORASI DALAM MEDIA MASSA
1. Pendahuluan
Ada kecenderungan saat ini kepemilikan
media massa lebih banyak dimiliki oleh orang-orang yang berorintasi pada
kepentingan politik dan bisnis (ekonomi) semata. Sehingga muncul kekhawatiran
media massa cenderung lebih digunakan untuk kepentingan bisnis dan politis pemilik
serta kelompoknya yang seringkali berafiliasi dengan partai atau elit politik
tertentu. Keadaan tersebut dikhawatirkan membuat media melupakan fungsinya
utamanya untuk dapat memenuhi kepentingan informasi dan edukasi bagi
masyarakat.
Saat ini ada beberapa media nasional
yang dimiliki oleh korporasi yang terjun kedunia politik maupun berafiliasi
pada partai politik tertentu:
No
|
MEDIA MASSA
|
PEMILIK
|
Afiliasi Partai Pemiliknya
|
||
Televisi Nasional/ Prabayar
|
Internet
|
Surat Kabar dan lainya
|
|||
1
|
Metro TV
|
|
|
Media Group (Surya Paloh)
|
NasDem
|
2
|
RCTI
|
|
|
MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
3
|
MNC TV
|
|
|
MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
4
|
Global TV
|
|
|
MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
5
|
Sindo TV
|
|
|
MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
6
|
Top TV
|
|
|
MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
7
|
TV One
|
|
|
Group Bakrie (Aburizal Bakrie)
|
Golkar
|
8
|
AVTV
|
|
|
Group Bakrie (Aburizal Bakrie)
|
Golkar
|
9
|
Jak-TV
|
|
|
Group Bakrie (Erick Thohir)
|
Golkar
|
10
|
TRANS TV
|
|
|
CT Corp (Chairul Tanjung
|
Demokrat
|
11
|
TRANS 7
|
|
|
CT Corp (Chairul Tanjung)
|
Demokrat
|
12
|
SCTV
|
|
|
PT. Elang Mahkota (Keluarga Sariatmadja)
|
|
13
|
INDOSIAR
|
|
|
PT. Elang Mahkota (grup Salim)
|
|
14
|
TVRI
|
|
|
Negara/Pemerintah
|
|
15
|
|
|
Media Indonesia
|
Media Group (Surya Paloh)
|
NasDem
|
16
|
|
|
Seputar
Indonesia
|
MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
17
|
|
|
Trust
|
MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
18
|
|
|
MNC Radio
|
MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
19
|
|
|
Jawa Pos
|
Multimedia Corp (JPMC)/ PT.Grafiti Pers
(Dahlan Iskan)
|
Demokrat (?)
|
20
|
|
|
Rakyat Merdeka
|
PT.Grafiti Pers (Dahlan Iskan)
|
Demokrat (?)
|
21
|
|
|
Republika
|
Group Bakrie (Erick Thohir)
|
Golkar
|
22
|
|
|
Radio Parambos
|
Group Bakrie (Erick Thohir)
|
Golkar
|
23
|
|
|
Suara Karya
|
Group Bakrie
|
Golkar
|
24
|
|
Vivanews.com
|
|
Group Bakrie (Aburizal Bakrie)
|
Golkar
|
25
|
|
Detik.com
|
|
CT Corp (Chairul Tanjung
|
Demokrat
|
26
|
|
|
KOMPAS
|
PT Kompas Media Nusantara (Kel Kompas
Gramedia
|
|
27
|
|
|
TEMPO
|
PT Tempo Inti Media Harian (Gunawan Muhammad
|
Demokrat (?)
|
28
|
|
MetroTv News
|
|
Media Group (Surya Paloh)
|
NasDem
|
29
|
|
Okezone.com
|
|
MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
Kepentingan politik dan korporasi ini
menyebabkan banyaknya program atau tayangan yang terkesan dipaksakan atau
dibuat-buat (misalnya: roadshow/iklan perjalanan politik partai Nasdem,
roadshow/iklan kegiatan Politik Hary Tanoe dan Wiranto dengan partai Hanura,
tayangan seputar Gubernur Joko Widodo yang sampai diputar di tayangan infotainment,
roadshow/iklan politik Abu Rizal Bakrie dan Partai Golkar, kata-kata hikmah
Dahlan Iskan di Koran berbasis Multimedia Corps, dll). Program dan tayangan
yang demikian cenderung berpotensi merugikan publik karena lama-kelamaan
masyarakat akan menjadi jenuh, antipati dan tidak perduli. Jika hal tersebut
terjadi maka fungsi media sebagai jembatan informasi dan eduksi untuk
masyarakat serta salah satu pilar demokrasi, yaitu pilar keempat demokrasi (the fourth estate) tidak akan terwujud.
Karena media tidak lagi menjalankan fungsi mengontrol dan mengkritisi jalannya
pemerintahan (kekuasaan) secara maksimal, namun menjadi alat propaganda politik
segelitir orang dan korporasi guna mencapai tujuannya.
2. Kebebasan Pers, Kode Etik, dan Intervensi
Korporasi
Dalam UU No. 32 tahun 2002 tentang
penyiaran disebutkan, Penyiaran
diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya
watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan
bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang
mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran
Indonesia. (Pasal 3)
Penyiaran
diarahkan untuk :
f.
menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam
pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup;
g.
mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang
penyiaran;
h.
mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan
memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi;
i.
memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab; (Pasal
5).
Dalam
Kode Etik Jurnalistik disebutkan,
Wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan
tidak beritikad buruk. (Pasal 1).
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa
atau fakta sesuai dengan suara hati
nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan
intervensi dari pihak lain termasuk
pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan
objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat
kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada
niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 3, Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan
asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check
and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau
waktu pemberitaan kepada masingmasing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat
pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat
yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip
tidak menghakimi seseorang.
Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran Dan
Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia No. 9 tahun 2004 dalam Bab V
Siaran Pemilihan Umum Dan Pemilihan Kepala Daerah, disebutkan; Pasal 63:
3. Lembaga
penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta pemilu dan
pilkada.
4. Lembaga
penyiaran dilarang bersikap partisan terhadap salah satu peserta pemilu dan
pilkada.
5. Peserta
pemilu dan pilkada dilarang membiayai atau mensponsori program yang ditayangkan
lembaga penyiaran.
Menurut Siti Aminah (Jurnal: Politik
Media, Demokrasi dan Media Politik, hal 4 – 5), terdapat 3 (tiga) pelaku dalam
politik media, ialah politisi, jurnalis,
dan orang -orang yang digerakkan oleh dorongan (kepentingan) khusus. Bagi politisi, tujuan dari politik media
adalah dapat menggunakan komunitas massa untuk memobilisasi dukungan publik
yang mereka perlukan untuk memenangkan pemilihan umum dan memainkan program
mereka ketika duduk di ruangan kerja. Bagi
jurnalis, tujuan politik media adalah untuk membuat tulisan yang menarik
perhatian banyak orang dan menekankan apa yang disebutnya dengan “suara yang
independen dan signifikan dari para jurnalis”. Bagi masyarakat, tujuannya adalah untuk keperluan mengawasi politik
dan menjaga politisi agar tetap akuntabel, dengan menggunakan basis usaha yang
minimal. Tujuan tersebut merupakan sumber ketegangan konstan yang ada di ketiga
aktor tadi. Politisi menghendaki para jurnalis untuk bertindak sebagai pembawa
berita yang netral dalam statemen mereka dan dalam rilis pers. Sementara para
jurnalis tidak ingin menjadi tangan kanan pihak lain; mereka lebih berharap
untuk bisa membuat kontribusi jurnalistik khusus untuk berita, dimana mereka
dapat menyempurnakannya dengan menggunakan berita terkini, investigasi, dan
analisis berita yang sangat dibenci oleh kalangan politisi. Jurnalis menilai
“suara jurnalistik”, paling tidak, sama besarnya dengan para pembaca dalam
jumlah besar, dan para jurnalis ini sama sekali tidak ingin membantu politisi
untuk menerbitkan berita mereka kepada publik. Jika jurnalis selalu saja
melaporkan berita yang dikehendaki politisi, atau hanya melaporkan berita
politik yang sesuai dengan keinginan pembaca, maka jurnalisme hanya akan menjadi
profesi yang kurang menguntungkan dan kurang memuaskan bagi praktisinya, atau
bahkan bukan lagi menjadi sebuah profesi. Pada dasarnya pihak publik
menginginkan untuk mengawasi jalannya politik dan menjaga agar politisi tetap akuntabel
dengan upaya yang minimal. Dan dikarenakan adanya kejenuhan pihak politisi dan
para jurnalis yang bersaing untuk mendapatkan perhatian publik dalam pasar yang
kompetitif, publik cenderung mendapatkan bentuk komunikasi politik yang mereka
inginkan. Namun ini tidak berlaku seluruhnya. Kepentingan yang telah melekat
pada diri politisi untuk mengontrol muatan berita politik, berpadu dengan
kepentingan jurnalis untuk membuat kontribusi yang independen dalam berita,
akan menciptakan ketegangan dan distorsi yang cukup besar. Pendekatan untuk
mempelajari politik media terdiri dari dua poin utama. Pertama, seperti yang
telah dibahas, ini akan berfokus pada kepentingan -diri yang berbeda dari para
partisipan dan bagaimana mereka membentuk sifat politik media. Ini merupakan
titik awal yang dari kebanyakan studi tentang politik media, yang cenderung
melihat politik media melalui prisma teoritis yang berbeda. Satu riset media
yang besar berfokus pada nilai dan konvensi jurnalis, seperti kesenangan mereka
untuk meliput persaingan politik (Patterson, 1993; Lichter, Rothman dan
Lichter, 1986), ataupun kegiatan rutin dimana reporter mengatur kerja mereka
(Cohen, 1962; Sigal, 1973; Epstein, 1973; Gans, 1980). Poin penting dalam riset
yang lain adalah penekanan pada sistem simbol ik dari politik media, terutama
dalam penciptaan ilusi, citra, dan kaca mata yang dapat menyamarkan gambaran
realitas (Edelman, 1980; Bernett, 1996).
Dalam studi tentang penyiaran sebagai
komunikasi massa mesti melihat berbagai teori efek komunikasi massa. Diantara
teori yang menjelaskan hal tersebut adalah teori stimulus-respons, teori two step flow dan teori difusi inovasi
(Sendjaja, 1998: 188 dalam Mufid, 2007: 22). Dalam difusi inovasi terdapat
paradigma liberal yang merupakan antithesis paradigma otoriter, paradigma ini
menjelaskan bahwa penyiaran tidak lagi menjadi alat pemerintah, dan bisa
dimiliki secara pribadi. Namun, hukum industrial membuat kepemilikan media
hanya menjadi otoritas para pemodal besar. Kepemilikan pemodal pertama-tama adalah
akumulasi keuntungan dan privilege sosial-politik dan kalau perlu – baru
kemudian kritik sosial. Dalam sistem liberal, kontrol terhadap media penyiaran
ada di tangan para pemilik modal. Dunia penyiaran Indonesia dan penyiaran dunia
sekarang ini secara keseluruhan terpengaruh oleh iklim media penyiaran (Mufid,
2007: 24)
3. Pembahasan
Dalam percaturan politik ekonomi skala
internasional maupun nasional tidak dapat dipungkiri bahwa media massa mainstream dikuasai oleh para pemilik
modal dan digunakan untuk kepentingan para pemilik modal.
Mahendra (2013) menyebutkan bahwa, di
dalam negeri media massa dikuasai oleh 12 kelompok media besar. Mereka adalah
MNC Group, Kelompok Kompas Gramedia, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia,
Grup Jawa Pos, Mahaka Media, CT Group, BeritaSatu Media Holdings, Grup Media,
MRA Media, Femina Group dan Tempo Inti Media. Ditambah dengan Bisnis Indonesia
Group (Harian Bisnis Indonesia, Majalah Business Weekly), Solopos/ Radio, Bali
TV (Bali TV dan 10 TV Lokal), Pos Kota Grup (Jakarta dan Koran Rakyat), Pikiran
Rakyat Group(penguasa Jawa Barat), termasuk group online baru: Kapanlagi.com
dan merdeka.com.
Mahendra (2013) melanjutkan MNC Group
di bawah Hary Tanoe (HT) memiliki tiga kanal televisi juga 20 jaringan televise
lokal dan 22 jaringan radio dibawah SindoRadio. Grup Jawa Pos dibawah Dahlan
Iskan memiliki 171 perusahaan media cetak termasuk Radar Group. KOMPAS, surat
kabar nasional berpengaruh saat ini melakukan ekspansi dengan mendirikan
penyedia konten yaitu KompasTV, disamping 12 penyiaran radio di bawah Radio
Sonora, dan 89 perusahaan media cetak lainnya. Visi Media Asia telah memiliki
dua saluran televisi (ANTVdan tvOne) serta media online yang berkembang dengan
pesat vivanews.com. Sebuah perusahaan media di bawah Grup Lippo yakni Berita
Satu Media Holding, telah mendirikan Internet Protocol Television (IPTV).
BeritaSatuTV, kanal media online beritasatu.com dan juga memiliki sejumlah
surat kabar dan majalah (http://www.theglobal-review.com).
Maka hampir dipastikan HT memanfaatkan
MNC Group, ARB dengan Viva Groupnya serta Surya Paloh dengan Media Group
menggunakan media massa milik mereka untuk menaikan profil dan propaganda
politik mereka dalamrangka Pemilu 2014 nanti. Demikian juga bagaimana media
massa saling ‘menghajar’ dengan membongkar berbagai borok (korupsi, skandal
ataupun kebohongan) lawan politik mereka sementara menyembunyikan kebobrokannya
sendiri. Namun pada satu sisi terkesan memiliki musuh bersama terhadap lawan
politik/idiologi yang tidak memiliki media atau tidak melakukan ‘pembelian
citra’ melalui media.
Mereka yang menguasai media massa
tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa mereka juga memiliki kekuatan ekonomi
dan atau bahkan kekuatan politik yang besar, seperti perusahaan retail (Chairul
Tanjung), asuransi (HT), partai politik (HT, ARB dan Suryo Paloh), dsb.
Demikian juga mereka yang bekerja di media massa mendapatkan upah dari para
pemilik media massa. Dengan begitu maka kepentingan ekonomi politik mereka
sebagai pemilik modal disebarkan melalui media massa yang mereka miliki agar
tetap bertahan dan terus menjadi hegemoni ideologi yang dominan.
Dalam keadaan ini dapatlah kita
saksikan berbagai pelanggaran terselubung terhadap peraturan perundangan, UU Penyiaran,
Kode Etik Jurnalistik, serta aturan KPI. Antara lain berupa pemberitaan yang
tidak berimbang dalam memberitakan baik memperkaya ataupun menutupi suatu objek
berita.
Daftar Referensi
Adelina, Monica Dian. 2013. KEPENTINGAN
POLITIK DAN KORPORASI MENGANCAM EKSISTENSI MEDIA SEBAGAI PILAR KEEMPAT
DEMOKRASI. http://interseksi.org/blog/files/filantropi_media.php
Aminah, Siti. POLITIK MEDIA,
DEMOKRASI DAN MEDIA POLITIK. Journal Fisip Unair: Surabaya.
Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran.
Kusumawardhana, Ignatius Mahendra. 2013. MEDIA MASSA DALAM KAPITALISME. http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?
lang=id&id=12251&type=120#.UmdK0XBHITy
Mufid,
Muhammad. 2007. KOMUNIKASI DAN REGULASI
PENYIARAN. KENCANA PRENADA GROUP: Jakarta.
Peraturan
Dewan Pers No. 6 Tahun 2008 tentang Kode Etik Jurnalistik.
Undang Undang
Republik Indonesia No 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran.