Dinamika politik pada tahun 1998 telah
memunculkan era yang disebut sebagai era reformasi. Era ini berdampak pada
terbukanya kran-kran informasi dan ruang bagi penyaluran kebebasan berekspresi
serta berpendapat. Onong (2003: 28) menyebutkan hakikat komunikasi adalah proses
pernyataan antarmanusia berupa pikiran atau perasaan seseorang kepada orang
lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.
Perkembangan media massa, media cetak
bahkan social media online tidak
terbendung dan terhitung jumlahnya. Sebagai contoh perkembangan media massa
seperti televisi merupakan salah satu media komunikasi yang merasakan dampak dinamika
politik 1998 tersebut. Televisi-televisi swasta pun bermunculan dan ragam
variasi program ditampilkan. Ia dipenuhi dengan beragam program hiburan,
seperti musik, sinetron, kuis atau berbagai macam reality show. Program-program non-hiburan seperti berita, awalnya
hanya dijadikan sebagai pelengkap dengan tampilan yang tidak semenarik program
hiburan lainnya. Namun, sejak kemunculan MetroTV yang memposisikan dirinya
sebagai stasiun berita, sebagaimana layaknya CNN, maka terdapat kecenderungan
berita tidak lagi dianggap sebagai program sampingan. Terlebih dengan hadirnya
TvOne, dengan tag linenya sebagai
stasiun berita dan olahraga. Terdapat persaingan diantara keduanya yang
kemudian diikuti oleh stasiun televisi lain, seperti TransTv, Trans7, RCTI,
SCTV dan stasiun lainnya. Persaingan tersebut kemudian memunculkan ragam varian
dalam penyajian berita yang kemudian dikemas dengan lebih menarik. Iklan pun
kemudian hadir dan mewarnai layar kaca sebagai nyawa yang menghidupi dan
menjamin keberlangsungan media televisi tersebut. Media cetak juga seperti
koran dan majalah, serta social media
online juga mengalami peningkatan pertumbuhan yang luar biasa.
Perkembangan media komunikasi seperti
radio, TV dan surat kabar ini tentu saja merupakan hal positif selama tetap
menghadirkan program yang berkualitas dan mampu memberikan pencerahan bagi
masyarakat. Namun, mengingat tingginya kecenderungan kapitalisasi dan hegemoni
korporasi pada sebagian media ini, menimbulkan pertanyaan apakah kanal-kanal
berita tersebut mampu mempertahankan komitmennya untuk memberikan informasi dan
program-program yang mendidik, serta mampu melepaskan diri dari konflik
kepentingan antara kebutuhan untuk memperoleh profit dan fungsi edukasinya. Mengingat
pada perkembangan selanjutnya media-media ini beralih kepemilikan pada beberapa
orang yang memiliki orientasi politik tersendiri.
II.
Pemikiran
Marx Klasik dan Kaitannya dengan Media Massa
Marx menganggap suatu masyarakat
didominasi oleh objek-objek yang nilai utamanya adalah pertukaran yang
memproduksi kategori-kategori masyarakat tertentu. Kategorisasi ini akhirnya melahirkan dua tipe
utama yang menjadi perhatian Marx adalah proletariat dan boujis/kapitalis.
Proletariat adalah para pekerja yang menjual kerja mereka dan tidak memiliki
alat-alat produksi sendiri, mereka bergantung sepenuhnya pada orang yang
memberi upah. Orang yang memberi upah adalah borjuis/kapitalis, yaitu orang-orang
yang memiliki alat produksi untuk menghasilkan lebih banyak uang (William, 2008:
496). Dengan kata lain, kapitalis lebih merupakan usaha pengembangan investasi
ketimbang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan keingginan manusia.
Marx memandang masyarakat sebagai arena
individu dan kelompok bertarung untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya
(Wirawan, 2013: 68). Sehingga ekploitasi dan dominasi merupakan suatu bagian penting
yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi kapitalis. Hans Fink (2003: 137-138)
menyebutkan bahwa menurut Marx, sejarah lebih merupakan perkembangan produksi
daripada realisasi prinsip-prinsip rasional. Produksi adalah kerja sosial,
sebagai sesuatu yang diperlukan dalam sejarah. Kerja sosial bagi Marx adalah
kunci perubahan sosial. Ia mengubah lingkungan alami dan harus beradaptasi
dengan kondisi-kondisi baru yang dihasilkan oleh kerja mereka. Marx juga
berpendapat terdapat kecenderungan alami untuk mengupayakan perluasan
kekuatan-kekuatan produksi itu, dan kecenderungan ini menghasilkan dinamika
dasar semua perkembangan sosial.
Morissan (2013: 536) menyatakan, Marx
berpandangan bahwa pesan yang disampaikan media massa sejak awal dibuat dan
disampaikan kepada khalayak dengan satu tujuan, yaitu membela kepentingan paham
kapitalisme. Walaupun media sering kali mengklaim atau menyatakan bahwa mereka
menyampaikan informasi untuk kepentingan publik dan kebaikan bersama (common good), namun meminjam ungkapan
popular “ujung-ujungnya duit!”
III. Aplikasi Pemikiran Marxis Klasik Dalam Realitas
Komunikasi Di Indonesia
Para sarjana komunikasi telah lama
menyadari bahwa media massa memiliki kemampuan untuk mengembangkan berbagai isu
bagi publik. Karenanya menurut Lippmann, media bertanggung jawab membentuk
persepsi terhadap dunia. Gambaran realitas yang diciptakan media hanyalah
pantulan (reflection) dari realitas
sebenarnya dan karenanya terkadang mengalami pembelokan atau distorsi
(Morissan, 2013: 495).
Adanya kecenderungan saat ini
kepemilikan media massa lebih banyak dimiliki oleh orang-orang yang berorintasi
pada kepentingan politik dan bisnis (ekonomi) semata. Sehingga muncul
kekhawatiran media massa cenderung lebih digunakan untuk kepentingan bisnis dan
politis pemilik serta kelompoknya yang seringkali berafiliasi dengan partai
atau elit politik tertentu. Keadaan tersebut dikhawatirkan membuat media
melupakan fungsinya utamanya untuk dapat memenuhi kepentingan informasi dan
edukasi bagi masyarakat. Donal Shaw dan Maxwell McComb (dalam Morissan 2013,
496) menyatakan, para editor media cetak dan para pengelola media penyiaran
memainkan peran penting dalam membentuk realitas sosial kita ketika mereka
melakukan pekerjaan untuk memilih dan membuat berita.
Menurut Siti Aminah (Jurnal: Politik Media, Demokrasi dan Media Politik,
hal 4-5), terdapat 3 (tiga) pelaku dalam politik media, ialah politisi,
jurnalis, dan orang -orang yang digerakkan oleh dorongan (kepentingan) khusus.
Bagi politisi, tujuan dari politik media adalah dapat menggunakan komunitas
massa untuk memobilisasi dukungan publik yang mereka perlukan untuk memenangkan
pemilihan umum dan memainkan program mereka ketika duduk di ruangan kerja. Bagi
jurnalis, tujuan politik media adalah untuk membuat tulisan yang menarik
perhatian banyak orang dan menekankan apa yang disebutnya dengan “suara yang
independen dan signifikan dari para jurnalis”. Bagi masyarakat, tujuannya
adalah untuk keperluan mengawasi politik dan menjaga politisi agar tetap
akuntabel, dengan menggunakan basis usaha yang minimal. Tujuan tersebut
merupakan sumber ketegangan konstan yang ada di ketiga aktor tadi. Politisi
menghendaki para jurnalis untuk bertindak sebagai pembawa berita yang netral
dalam statemen mereka dan dalam rilis pers. Sementara para jurnalis tidak ingin
menjadi tangan kanan pihak lain; mereka lebih berharap untuk bisa membuat
kontribusi jurnalistik khusus untuk berita, dimana mereka dapat
menyempurnakannya dengan menggunakan berita terkini, investigasi, dan analisis
berita yang sangat dibenci oleh kalangan politisi.
Menurut Hall, media adalah instrumen
kekuasaan kelompok elite, dan media berfungsi menyampaikan pemikiran kelompok
yang mendominasi masyarakat, terlepas apakah pemikiran itu efektif atau tidak.
Studi cultural menekankan pada gagasan bahwa media menjaga kelompok berkuasa
untuk tetap memegang kontrol atas masyarakat sementara mereka yang kurang berkuasa
menerima apa saja yang disisakan kepada mereka oleh kelompok berkuasa
(Morissan, 2013: 535). Saat ini ada beberapa media nasional yang dimiliki oleh
korporasi yang terjun ke dunia politik maupun berafiliasi pada partai politik
tertentu:
No
|
MEDIA MASSA
|
PEMILIK
|
Afiliasi Partai Pemiliknya
|
||
Televisi Nasional/ Prabayar
|
Internet
|
Surat Kabar dan lainya
|
|||
1
|
Metro TV
|
Media
Group (Surya Paloh)
|
NasDem
|
||
2
|
RCTI
|
MNC
Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
||
3
|
MNC TV
|
MNC
Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
||
4
|
Global TV
|
MNC
Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
||
5
|
Sindo TV
|
MNC
Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
||
6
|
Top TV
|
MNC
Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
||
7
|
TV One
|
Group
Bakrie (Aburizal Bakrie)
|
Golkar
|
||
8
|
AVTV
|
Group
Bakrie (Aburizal Bakrie)
|
Golkar
|
||
9
|
Jak-TV
|
Group
Bakrie (Erick Thohir)
|
Golkar
|
||
10
|
TRANS TV
|
CT
Corp (Chairul Tanjung
|
Demokrat
|
||
11
|
TRANS 7
|
CT
Corp (Chairul Tanjung)
|
Demokrat
|
||
12
|
SCTV
|
PT.
Elang Mahkota (Keluarga Sariatmadja)
|
|||
13
|
INDOSIAR
|
PT.
Elang Mahkota (grup Salim)
|
|||
14
|
TVRI
|
Negara/Pemerintah
|
|||
15
|
Media Indonesia
|
Media
Group (Surya Paloh)
|
NasDem
|
||
16
|
Seputar Indonesia
|
MNC
Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
||
17
|
Trust
|
MNC
Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
||
18
|
MNC Radio
|
MNC
Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
||
19
|
Jawa Pos
|
Multimedia
Corp (JPMC)/ PT.Grafiti Pers (Dahlan Iskan)
|
Demokrat (?)
|
||
20
|
Rakyat Merdeka
|
PT.Grafiti
Pers (Dahlan Iskan)
|
Demokrat (?)
|
||
21
|
Republika
|
Group
Bakrie (Erick Thohir)
|
Golkar
|
||
22
|
Radio Parambos
|
Group
Bakrie (Erick Thohir)
|
Golkar
|
||
23
|
Suara Karya
|
Group
Bakrie
|
Golkar
|
||
24
|
Vivanews.com
|
Group
Bakrie (Aburizal Bakrie)
|
Golkar
|
||
25
|
Detik.com
|
CT
Corp (Chairul Tanjung
|
Demokrat
|
||
26
|
KOMPAS
|
PT
Kompas Media Nusantara (Kel Kompas Gramedia
|
|||
27
|
TEMPO
|
PT
Tempo Inti Media Harian (Gunawan Muhammad)
|
Demokrat (?)
|
||
28
|
MetroTv News
|
Media
Group (Surya Paloh)
|
NasDem
|
||
29
|
Okezone.com
|
MNC
Group (Hary Tanoesoedibjo)
|
HANURA
|
Sumber:
http://hikmawansp.wordpress.com/2012/12/28/media-massa-milik-partai-politik/
Kepentingan politik dan korporasi ini
menyebabkan banyaknya program atau tayangan yang terkesan dipaksakan atau
dibuat-buat (misalnya: roadshow/iklan perjalanan politik partai Nasdem,
roadshow/iklan kegiatan Politik Hary Tanoe dan Wiranto dengan partai Hanura,
tayangan seputar Gubernur Joko Widodo yang sampai diputar di tayangan
infotainment, roadshow/iklan politik Abu Rizal Bakrie dan Partai Golkar,
kata-kata hikmah Dahlan Iskan di Koran berbasis Multimedia Corps, dll). Program
dan tayangan yang demikian cenderung berpotensi merugikan publik karena
lama-kelamaan masyarakat akan menjadi jenuh, antipati dan tidak perduli. Jika
hal tersebut terjadi maka fungsi media sebagai jembatan informasi dan eduksi
untuk masyarakat serta salah satu pilar demokrasi, yaitu pilar keempat
demokrasi (the fourth estate) tidak
akan terwujud. Karena media tidak lagi menjalankan fungsi mengontrol dan
mengkritisi jalannya pemerintahan (kekuasaan) secara maksimal, namun menjadi
alat propaganda politik segelitir orang dan korporasi guna mencapai tujuannya.
Dalam studi tentang penyiaran sebagai
komunikasi massa mesti melihat berbagai teori efek komunikasi massa. Diantara
teori yang menjelaskan hal tersebut adalah teori stimulus-respons, teori two
step flow dan teori difusi inovasi (Sendjaja, 1998: 188 dalam Mufid, 2007: 22).
Dalam difusi inovasi terdapat paradigma liberal yang merupakan antithesis
paradigma otoriter, paradigma ini menjelaskan bahwa penyiaran tidak lagi
menjadi alat pemerintah, dan bisa dimiliki secara pribadi. Namun, hukum
industrial membuat kepemilikan media hanya menjadi otoritas para pemodal besar.
Kepemilikan pemodal pertama-tama adalah akumulasi keuntungan dan privilege
sosial-politik dan kalau perlu – baru kemudian kritik sosial. Dalam sistem
liberal, kontrol terhadap media penyiaran ada di tangan para pemilik modal.
Dunia penyiaran Indonesia dan penyiaran dunia sekarang ini secara keseluruhan
terpengaruh oleh iklim media penyiaran (Mufid, 2007: 24).
Dalam percaturan politik ekonomi skala
internasional maupun nasional tidak dapat dipungkiri bahwa media massa
mainstream dikuasai oleh para pemilik modal dan digunakan untuk kepentingan
para pemilik modal.
Mereka yang menguasai media massa tidak
bisa dilepaskan dari fakta bahwa mereka juga memiliki kekuatan ekonomi dan atau
bahkan kekuatan politik yang besar, seperti perusahaan retail (Chairul
Tanjung), asuransi (HT), partai politik (HT, ARB dan Suryo Paloh), dsb.
Demikian juga mereka yang bekerja di media massa mendapatkan upah dari para
pemilik media massa. Dengan begitu maka kepentingan ekonomi politik mereka
sebagai pemilik modal disebarkan melalui media massa yang mereka miliki agar
tetap bertahan dan terus menjadi hegemoni ideologi yang dominan.
Tidaklah mengherankan bila sering
terjadi berbagai pelanggaran terhadap peraturan perundangan, UU Penyiaran, Kode
Etik Jurnalistik, serta aturan KPI utamanya yang menyangkut pemberitaan politik.
Belum lagi berupa pemberitaan yang tidak berimbang dalam memberitakan baik
memperkaya ataupun menutupi suatu objek berita.
DAFTAR REFERENSI
Aminah,
Siti. POLITIK MEDIA, DEMOKRASI DAN MEDIA POLITIK. Journal Fisip Unair:
Surabaya.
Effendi,
Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori, dan
Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Fink,
Hans. 2003. Filsafat Sosial Dari Feodalisme hingga Pasar Bebas. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta.
Kusumawardhana,
Ignatius Mahendra. 2013. MEDIA MASSA DALAM KAPITALISME.
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php? lang=id&id=12251&type=120#.UmdK0XBHITy
Mufid,
Muhammad. 2007. KOMUNIKASI DAN REGULASI PENYIARAN. KENCANA PRENADA GROUP:
Jakarta.
Outhwaite,
William. Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern Edisi Kedua. Kencana: Jakarta.
Wirawan,
IB. 2013. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma.
Kencana: Jakarta.
http://hikmawansp.wordpress.com/2012/12/28/media-massa-milik-partai-politik/ diakses pada 24
Januari 2014 pukul 10:24 PM
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus